Enggan Beranjak Pergi
Waktu beredar terus, seakan akan tak kenyang-kenyangnya
memakan hari bulan tahun. Dan malam ini dengan celana jeans lengkap dengan kaos putih
bertulis chanel kesayanganku, aku menyusuri keramaian kota di bawah sorot lampu-lampu
kuning yang menerangi sepanjang jalan disana. Jajaran para pedagang, pengamen,
para remaja, anak-anak kecil yang sedang bermain dengan orang tuanya, atau bahkan
sebuah keluargapun turut menikmati gemerlap kehidupan malam yang nampak terasa
pekat ini.
Aku menarik nafas dalam. Tatapanku terfokus pada sosok
laki-laki berbaju hitam di antara kerumunan orang yang sedang menyaksikan
pertunjukan tari di sebelah kananku. Aku menatapnya tajam. Entah mengapa, sepertinya
feelingku mengatakan bahwa sosok itu
adalah kamu. Iya kamu, yang dulu pernah menjadi yang terbaik dan selalu ada
untukku. Memberi tempat ternyaman, meluangkan waktu untuk sebentar menyapaku
dan menghiburku, melukis cerita indah dengan hal konyol yang kita lakukan
sekalipun, atau bahkan sempat merasakan manis pahitnya hari-hari bersama,
walaupun itu semua tanpa sebuah kejelasan. Tapi entahlah, semenjak peristiwa
itu semua tiba-tiba menghilang.
Seketika suara petasan memecahkan
lamunanku. Dalam diam aku kembali menatap kerumunan tadi, namun ternyata tak
nampak sedikitpun sosokmu disana. Aku terlihat sangat gelisah. Hitam bola
mataku terus memandangi keadaan sekeliling, rupanya tak nampak sedikitpun
batang hidungmu. Ah sudahlah, mungkin
dia sudah pulang dan ini bukan waktu yang tepat untuk bertemu dengannya. Dengan
sigap aku segera menginggalkan tempat itu, namun aku dikagetkan dengan seorang
anak kecil yang tiba-tiba menggandeng tanganku dan berkata “Kak Jingga, ayo ikut aku!”. Aku hanya tersenyum sambil menganggukkan kepalaku. Walaupun sebenarnya
aku tak tahu dia siapa dan mau apa.
Sungguh, suasananya jauh berbeda
dengan sebelumnya. Tanpa basa-basi anak kecil itu lantas meninggalkanku
sendirian di suatu jembatan yang sangatlah indah. Penuh dengan lampu warna
warni, lampion-lampion lucu dan adapula permainan becak air. Sungguh pemandangan
yang belum pernah aku jumpai sebelumnya. Aku terus memandang tanpa merasa bosan
sedikitpun. Hingga akhirnya aku melihat sosokmu dari kejauhan berjalan
medekatiku.
Aku tersenyum masam. Kali ini aku
tak perlu memandangimu dari kejauhan ataupun mencuri-curi pandangan. Karena yang
ada di hadapanku saat ini adalah kamu. Aku sengaja membiarkan keheningan
terjadi. Namun aku bisa apa sekarang? Bahkan untuk melihat sorot matamupun ah
rasanya tidak mungkin. Kamu menatapku
tajam penuh arti. Semua itu nampak jelas dari sorot bola matamu. Hingga akhirnya kamu
memecahkan keheningan. Dengan sigap tiba-tiba kamu memelukku, tanpa membiarkan
sedikitpun ruang kosong diantara kita. Seakan tubuhmu melindungiku dan tak mau
aku tersakiti sedikitpun. Aku hanya terdiam, penuh tanya dan tidak berdaya.
Aku menghela nafas panjang. Kamu melepaskan
pelukanmu dan sepertinya belum cukup kamu memelukku, kamu langsung mengecup
keningku. Tanpa banyak berkata kamu memberikan isyarat padaku untuk tetap diam.
Di tengah gemerlap lampu jembatan, dingin dan syahdu. Sepertinya keadaan itulah
yang pantas menggambarkan suasana sekelilingku. Hingga kamu mengajakku untuk
duduk di bangku tak jauh dari tempatku berdiri tadi. Dan disitulah semua
keheningan itu pecah.
Tak sedikitpun aku melihat raut kecemasan
di wajahmu. Masih sama seperti dulu, kamu mampu menyembunyikan semua itu
tertata rapi tanpa satu orang mengetahuinya. Mungkin selama rentan waktu kita
berjauhan, kamu sudah bersama yang lain. Dan lebih tololnya aku, aku masih
enggan beranjak dari tempat kita dahulu. Ini bukan untuk yang pertama kalinya.
Kali ini dengan nada santai penuh kelembutan, kamu meminta maaf padaku dan menjelaskanku
bahwa sebenarnya sesuatu hal terjadi tanpa aku ketahui. Lantas yang terjadi? Tanpa
disadari air mataku menetes perlahan. Mungkin aku tak cukup kuat untuk
membendung semua ini. Dengan telaten, kamu mengusap air mataku.
Kali ini aku memberanikan diri
menatap bola matamu. Kamu membalas tatapan itu dengan tajam, terlihat semakin
serius, semakin dalam dan perlahan kamu berkata “Dulu memang menyenangkan. Namun itu dulu, masa lalu. Andai aku punya
mesin waktu untuk memutar semua itu, aku harap kita masih bisa seperti dulu”
Aku tidak pintar menyusun
kata-kata dan kali ini aku ingin mengutip sebuah kutipan dari novel yang ku
baca, MONTASE
“ Aku berharap
tak pernah bertemu denganmu. Supaya aku tak perlu menginginkanmu, memikirkanmu
dalam lamunanku. Supaya aku tak mencarimu setiap kali aku rindu. Supaya aku tak
punya alasan untuk mencintaimu. Dan terpuruk ketika akhirnya kau
meninggalkanku.
Tapi
...
Kalau aku
benar-benar tak pernah bertemu denganmu, mungkin aku tak akan pernah tahu
seperti apa rasanya berdua saja denganmu. Menikmati waktu bergulir tanpa
terasa. Aku juga tak mungkin bisa tahu seperti apa rasanya sungguh-sungguh
mencintaimu. Dan dicintai sosok seindah sakura seperti dirimu. “
Dan diantara
sejuta lembaran hidup
Aku masih
merindukanmu
Bersama
senja sore dan sebuah arum manis
Komentar
Posting Komentar